"Mbak, Mbak! Orang itu masih nguntit kita!” bisik Rani setengah terpekik.
“Oh ya?! Biarin aja. Mungkin cuma kebetulan, Ran,” kataku berpura tak acuh.
“Hmmh..!” Rani menoleh ke belakang, mendelikkan matanya bulat lalu berpaling dari lelaki di belakang kami.
“Ma-ma..ntuh. Ntuh..” jemari mungil Asri di telunjuk kananku meremas lebih kuat.
Balitaku ini rupanya menunjuk ke arah meja resto-cafe langganan kami di mal ini. Kami memilih tempat di tempat biasa kami duduk. Tentu saja waktu ini adalah waktu lengang karena jam makan siang sudah usai dua jam lalu. Pramusaji mendekat dan mencatat pesanan kami dan berlalu dengan keramahan yang khas: keramahan yang diwajibkan manajer saat menghadapi pelanggan.
Asri duduk di sebelah kananku dengan antusias. Anak perempuan tiga tahun yang mungil lucu ini bocah yang ceria, tapi penurut. Itu yang membuatku bangga sebagai ibunya. Sementara Rani duduk di ujung seberang meja menghadapku. Belanjaan kami ditaruhnya di kursi di sampingnya. Tapi ia masih tampak gelisah.
“Tuh ‘kan, Mbak..dia ikut-ikutan makan di sini!” Rani rupanya masih siaga.
“Duh, Rani.. sejak kapan kamu jadi paranoid gitu, sih?! Sudahlah, toh dia gak ganggu kita.”
“Hmmh..iya sih, Mbak. Tapi ‘kan aneh..,” Rani menoleh ke arah lelaki itu lagi. Seperti sedang menilai sesuatu darinya. Aku hanya tersenyum. Pramusaji datang lagi dengan pesanan kami dan Asri mulai asyik sendiri dengan es krim coklat-vanilla di hadapannya.
“Well, tampangnya sih sebenernya lumayan ganteng.. cuman.. itu tuh..rambut setengah gondrong ama baju ama sepatunya.. sama-sama lusuh..gak ngurus diri banget sih tu orang,” dengus Rani sewot tanpa arah.
“Nah lho..nah lho.. Jangan-jangan kamu mulai naksir, tuh..!” gelakku menggodanya. “Hihihi...!”
“Hush, Si Mbak mulai lagi nih. Mentang-mentang dianya udah laku dan aye masih betah tabah to be a pretty single princess!” selorohnya balik dengan gaya narsis khas Rani Purwanti. Untuk menyembunyikan sipu, Rani lalu menukas. “Udah ah, mending mulai mamam aja.. laperrr!
Aku tersenyum lagi. Kali ini pandang kuarahkan pada Asri yang mulutnya sibuk dengan es krim di meja yang agak terlalu tinggi untuk badannya. Jelas belepotan, tapi dia asyik menikmati es krimnya. Pemandangan yang membuat gemas. Aku memperhatikan anakku dengan senyum syukur. Lalu..
Kuarahkan pandangku pada lelaki penguntit yang duduk di ujung kanan. Dia rupanya sedang asyik juga mengamati Asri dengan sorot mata yang sulit kujelaskan. Sorot yang mungkin berisi rindu dan perih dalam satu waktu. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi dia segera menundukkan kepalanya sambil menyungging senyum samar yang canggung. Seperti malu sudah tepergok olehku. Tapi gelagat canggungnya itulah yang selalu membuatku tergetar haru. Ya, selalu.
“Mbak..?!! Rupanya kenal sama laki-laki itu ya?!!”
Duh, giliran Rani yang memergoki Aku.

By
Published: 2013-01-18T05:49:00+07:00
Di Balik Irisan Luka Ada Setapak Jalan Menuju Surga
murahanber-harga. XD Maka sudah sepantasnya lanjutan kisah ini dibaca di sini: [Antoren II]