Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu;
man 'arafa Rabbahu, fasadal jasad.
Siapa kenal dirinya, kenallah ia akan Tuhannya;
siapa kenal Tuhan, binasa jasadnya.
Perkataan di atas tampaknya merupakan simpulan dari hadis qudsy berikut:
Kuntu kanzan makhfiyyan fa aradtu an u'rafa khalaqtu 'l-khalq li-kay u'raf
"Aku ialah khazanah (perbendaharaan) tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku."
Klausa dengan-Ku mereka mengenal-Ku ini ada penjelasannya pada Q.S. Hijr:29
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Dari ayat ini diketahui bahwa diri manusia itu terdiri atas ruh, jasad, dan (belakangan timbul) nafs. Dari pertemuan ruh dan jasad ini Allah kehendaki timbul nafs pada manusia.
Jadi diri kita itu keesaan tiga hal:
- ruh
- nafs (nafsu/jiwa/rasa "ada-diri")
- jasad
Ruh berkehendak dengan kehendak Allah, sedangkan jasad berkehendak dengan kehendak nafsu yang juga dikompori bisik setan.
وَمَاۤ اُبَرِّئُ نَفْسِيْ ۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌۢ بِالسُّوْٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ ؕ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang." [Q.S. Yusuf:53]
Maka diri kita yang wajib dikenal itu tentu diri yang merupakan rahmat besar dari Allah, yaitu ruh sebab ruh kita ini Zat Allah alias Nur Ilahi.
Hanya manusia (baik muslim maupun nonmuslim) yang ruhnya dari Nur Ilahi.. makanya malaikat dan jin diperintahkan bersujud pada Adam a.s. karena manusia itu dinobatkan sebagai khalifah di muka bumi: makhluk ketuhanan, bukan makhluk kehambaan.
[Makanya aneh kalau ada ulama mengajarkan umat pakai jin-jin khadam untuk perlindungan diri atau untuk ini-itu, toh sudah ada ketuhanan pada diri manusia..sudah ada wa fii anfusikum 'afalaa tubsirun pada kita(Az-Zariyat:20-21), kenapa musti pakai-pakai jin pula?! Rusak deh akidah-syariah jadinya]
وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَ ۙ وَفِيْۤ اَنْفُسِكُمْ ؕ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? [Q.S. Az-Zariyat: 20-21]
Kita sudah tahu diri yang wajib dikenal pada kita itu diri ruh.
Kita sudah tahu ruh kita ini Zat Allah.
Maka ketahuilah ruh kita alias Zat Allah/Nur Ilahi itu 'laysa kamitslihi syai'un', tidak sama dengan segala sesuatu. Ini buktinya:
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ؕ جَعَلَ لَـكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّ مِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًا ۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ ؕ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat. [Q.S. Asy-Syura: Ayat 11]
هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًـا مَّذْكُوْرًا
Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? [Q.S. Al-Insan: Ayat 1]
Ketahuilah juga ruh kita = Zat Allah = Nur Ilahi itu esa beserta Allah. Allah dan Zat-Nya itu esa; Pencipta Zat dengan Zat itu esa. Ilahi dan Nur Ilahi itu esa; Pemilik Nur dengan Nur itu esa:
- seperti Matahari dan cahayanya, tidak ada jarak-antara matahari dengan cahayanya.
- seperti api dengan panasnya, tidak ada batas-pemisah api dari panasnya.
Mari lanjutkan bahasan kita ini,
- ruh kita Zat Allah
- Zat Allah esa dengan Allah
- jadi, ruh kita ini esa beserta Allah (billah)
- maka ruh kita itu berkehendak dengan Kehendak Allah (Iradat)
- Tapi jasad kita berkehendak dengan kehendak nafsu, jadi musti bagaimana? Sabar, ikuti uraian selanjutnya.
Kembali ke topik,
Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa Rabbahu
Man 'arafa Rabbahu, fasadal jasad
Siapa kenal dirinya, kenallah ia akan Tuhannya
Siapa kenal Tuhan, binasa jasadnya
Maksud frasa binasa jasad atau fana fillah ini bukan dengan cara
- memfana-fanakan diri,
- menafi-nafikan diri,
- meniada-tiadakan diri,
- mengosong-kosongkan diri,
- melenyap-lenyapkan diri,
Allah sudah menetapkan diri nafs kita ini ada. Mustahil kita mau meniada-tiadakan yang sudah Allah tetapkan adanya meskipun nafs kita ini sekadar wujud fana.
Jihad melawan hawa nafsu (jihadunnafs) juga bukan dengan menemui ulama instan yang bisa melakukan
- pengosongan,
- pengisian,
- pembukaan,
- pengiriman atau transfer,
Jihad melawan hawa nafsu itu jihad melawan diri sendiri. Artinya jihad itu berlangsung sepanjang hayat. Kamu selesai berjihad kalau kamu sudah mati. Namanya juga perjuangan menundukkan diri sendiri, maka pergulatannya berlangsung selama masih ada diri dan perjuangannya bersifat munfarid alias sendiri-sendiri alias dilakukan oleh diri masing-masing.
Gunakanlah akalmu. Mana mungkin kamu percaya begitu saja pada ulama yang bisa seketika menyetel diri kamu? Seketika itu juga kamu berubah 180 derajat? Itu namanya cuci otak alias keimanan hipnosis.
Hidayah dari Allah memang terjadi seketika, tetapi pada diri kamu tetap berlaku proses alami perubahan. Yang namanya proses itu sunatullah juga dan Allah mengubah kamu tanpa perubahan: artinya orang sekitarmu masih mengenalmu seperti dirimu sebelumnya, tetapi ada tambahan kesan kebaikan padamu. Tidak drastis. Apa bedanya mendadak saleh dengan mendadak sakti atau mendadak gila? Ingat, yang instan-instan itu kalau bukan dari nafsu, biasanya dari setan.
Ulama atau mursyid yang sesungguhnya pasti meneladani Sang Nabi, yaitu hanya bersifat membimbing dan menunjukkan cara agar kamu bisa menang menundukkan hawa nafsumu sendiri berdasarkan Quran dan sunnah. Kalau keimanan hipnosis, adakah dalilnya?!
Fana fillah itu bukan begitu caranya. Mengesakan diri pada Allah itu ada cara sahihnya. Bagaimana caranya? Lakukanlah perintah syariat.
Apa itu Syariat?
Syariat itu hal yang dikehendaki Allah bagi manusia, berlaku pada anggota jasad.Untuk apa bersyariat?
Agar manusia--dengan suka maupun terpaksa--esa jasad dan nafsunya dengan ruh. Jasad dan nafsu esa dengan ruh, maka esalah zahir-batin kita beserta Allah (billah).Jadi penghambaan dan peribadatan itu sebenarnya pengesaan zahir-batin pada Yang Maha Esa.
Sempurnanya syariat itu yang bagaimana?
Diri kita itu ada ruh dan jasad (beserta nafs); zahir dan batin.Pada zahir, dalam syariat berlaku rukun fi'li (gerakan) dan rukun qawli (bacaan).
Pada batin, dalam syariat berlaku rukun qalbi (hadir hati)
Hadir hati (musyahadah) dalam ibadah itu bukan dengan menerjemahkan bacaan Arab dalam hati, bukan juga dengan membayang-bayangkan Allah berupa “alif-lam-lam-ha” atau makna "Tuhan" dalam lintasan pikiran berupa apa pun.
Ingat,
Man abdal Asma faqad kafar,
Man abdal ma'na fa huwa munafiqun.
Siapa menyembah Asma, maka ia kafir,
Siapa menyembah makna, maka ia munafik.
وَلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ نَافَقُوْا ۚ وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَوِ ادْفَعُوْا ۚ قَالُوْا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَّا تَّبَعْنٰكُمْ ؕ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ اَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْاِيْمَانِ ۚ يَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِهِمْ مَّا لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ ؕ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُوْنَ ۚ
"..dan untuk menguji orang-orang yang munafik, kepada mereka dikatakan, "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)." Mereka berkata, "Sekiranya kami mengetahui (bagaimana cara) berperang, tentulah kami mengikuti kamu." Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan." [Q.S. Ali 'Imran: 167]
Hadir hati (musyahadah) itu dengan menundukkan diri nafsu. Diri nafsu itu berupa pikiran dan perasaan kamu. Maka yang disebut musyahadah pada Allah atau hadir hati ke hadirat Allah itu dengan mendiamkan pikiran dan perasaan.
Kenapa mengingat Allah itu dengan mendiamkan pikiran dan perasaan?
'Kan sudah tahu, Zat saja sudah bersifat laysa kamitslihi syai'un, tidak sama dengan segala sesuatu yang bisa dipikir dan dirasa. Apalagi Rabbul izzati Sang Pencipta Zat, pastikan terlebih tidak bisa dipikir-pikir, terlebih tidak bisa dirasa-rasa.Dalam Kitab Nasaihul Ibad, Syaikh Nawawi al-Bantani mencantumkan sabda Nabi Saw.,
الصلا ة عما دالدين والصمت افضل , والصدقة تطفىء غضب الرب والصمت افضل , والصوم جنة من النار والصمت افضل , والجهادسنا م الدين والصمت افضل
“Salat itu tiang agama, sedangkan diam itu lebih utama; sedekah itu dapat memadamkan murka Allah, sedangkan diam itu lebih utama; puasa itu benteng neraka, sedangkan diam itu lebih utama; dan jihad itu adalah puncak agama, sedangkan diam itu lebih utama.”
(الصمت ارفع العبادة ( رواه الديلمى عن ابى هريرة
“Diam adalah ibadah tingkat tinggi.” (H.R. Ad-Dailami dari Abu Hurairah).
Itulah sebabnya dikatakan para arif billah,
Man arafallaaha kalla lisanuhu
"Siapa (sebenar-benar) mengenal Allah, kelu lisannya."
kelu lisan ← diam pikiran dan perasaannya.
Maka sempurna syariat itu, misalnya dalam salat:
- badan bergerak: berdiri-takbir-ruku-sujud-salam,
- mulut mengucap:bacaan yang disunnahkan,
- hati (pikiran dan perasaan) diam: kekal (billah) beserta Allah Yang Tidak Bisa Dipikir-pikir dan Tidak Bisa Dirasa-Rasa.
Keadaan syariat yang sempurna itu fasadal jasad
Maksudnya, kalau dalam setiap ibadah syariat kita apapun bentuknya (salat, tadarus, zikir, dsb.) kita pakai rukun qalbi "diam-hakiki" itu, suatu hari Allah akan tunjukkan pada kita.. Allah akan karuniakan pada kita:
Pada saat ibadah itu kita akan merasakan fasadal jasad atau "binasa jasad" yang dimaksud. Bukan jasad kita jadi hilang atau tidak kelihatan, melainkan kita masih melihat jasad kita, tetapi kita tidak merasakan berjasad lagi. Ujung-ujungnya nanti, pada kesadaran kita: hanya Allah saja Ada. Laa mawjudun Ilallaah. Laa ilaahaa ilaallaah. Inilah puncak billahi (beserta Allah).
Inilah keadaan yang diisyaratkan dalam anjuran
Muutu qabla anta muutu.
Matikan diri (nafs)-mu sebelum mati.
اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَـيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ؕ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكٰفِرِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan. [Q.S. Al-An'am: Ayat 122]
Kalau sudah billahi, di alam Allaahua'lam-lah kamu. Kasyaf jugalah kamu. Seisi alam dunia-akhirat terpandang semua. Kenapa bingung? Namanya juga di Allaahua'lam.
PERINGATAN
Puncak billah itu TUHAN-HAMBA ESA ← ini maksudnya bukan kita jadi Allah dan bukan Allah jadi kita. TUHAN-HAMBA ESA: Jauh tidak berjarak; dekat tiada antara dan tiada bersentuh. ESA: TUHAN BESERTA SEKALIAN MAKHLUK ITU SATU-SATUNYA. Pandai-pandai mengambil paham. Jangan tersalah paham.
Dalam Islam, tidak pernah ada Tuhan menyurup ke makhluk. Dalam Islam, tidak pernah bisa makhluk jadi setara dengan Tuhan atau menjadi Tuhan. Camkan itu.
Dalam Islam, tidak ada konsep
lenyap aku, ada Tuhanku;
lenyap Tuhanku, ada aku.
Camkan itu.
Simpulan
Mengenal Allah tidak bisa dengan diri jasad maupun diri nafsu kita yang bersifat hadis (’barang kasar’ atau baharu). Mau tidak mau kita hanya bisa mengenal dan ‘sampai pada’ Allah melalui diri kita yang qadim, yaitu diri ruh (ruhul qudus) kita sendiri.Caranya dengan bersyariat yang disanding makrifat. Bersyariat yang disanding dengan rukun qalbi diam-hakiki. ← Dengan demikian, esalah jasad dan nafs pada ruh. Kenallah jasad dan nafs kita pada ruhnya sendiri.
Kalau jasad-nafs mengenal ruhnya sendiri, sucilah zahir-batin kita karena ruh itu Kemahasucian Allah. Jangan lupa bahwa ruh itu Zat Allah alias Nur Ilahi yang bersifat Mahasuci.
Kalau totalitas diri kita sudah suci, esalah dengan Yang Mahasuci.
Jadi, jihad akbar setiap muslim yang sesungguhnya ialah berproses menjadi wujud ruhani yang bercahaya-cahaya meskipun masih tampak berupa jasad berkulit-berdaging-bertulang-berdarah. Supaya bisa total meneladani Rasulullah Saw.: ber-Mi`raj ke Sidratul Muntaha dengan dengan ruh-nafs-jasad sekaligus. Aamiinullaah.
قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.
As-syariatu bila haqiqatu, atilah;
al-haqiqatu bila syariah, batilah
Syariat tanpa hakikat, sia-sia;
hakikat tanpa syariat, sesat yang nyata.
Biar sedikit amal, yang penting mengenal. Setelah mengenal, semakin beramal.
Inilah rangkuman garis besar tauhid hakiki (syariat-tarikat-hakikat-makrifat) yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah Saw. taklama setelah tiba hijrah di Madinah. Inilah disebut Pusaka Madinah. Inilah tariqatul Muhammadiyah, tarikat yang penghulu utamanya Nabi Muhammad Rasulullah Saw. sendiri, bukan kelas umat. Tariqatul Muhammadiyah inilah Islam. Islam tanpa embel-embel firqah apapun. Bukan Sunni-Aswaja, bukan Syiah, bukan Wahhabi-salafy, bukan Sufisme-tasawuf, bukan Ahmadiyah, bukan IslamLib, bukan lain-lainnya. Islam saja. Islam. Ti-tik.
By
Published: 2016-01-19T01:15:00+07:00
Penjelasan Kenal Diri, Kenal Tuhan